Monday, December 7, 2015

Perbaikan travel feature dari Donna Alvita

Tradisi adalah warisan budaya yang diceritakan turun-temurun dari nenek moyang kita. Setiap suku memiliki tradisi berbeda, begitu pula kami, Suku Dayak, yang setiap tahun menggelar acara Gawai Dayak. Gawai Dayak adalah suatu tradisi sebagai wujud ucapan syukur masyarakat Dayak kepada Jubata atau Tempa (Tuhan) atas panen padi yang berlimpah. Acara ini diselenggarakan secara akbar di Pontianak selama tiga hari berturut-turut pada pertengahan tahun di rumah adat Suku Dayak yang disebut Rumah Betang. Masyarakat Dayak berkumpul dan berkreasi dalam suatu kompetisi seni.
Sebelum diselenggarakan secara akbar di Pontianak, Gawai Dayak terlebih dahulu digelar di tingkat Kabupaten. Saya sempat mengikuti acara Gawai Dayak di Kabupaten Sanggau beberapa kali karena bertepatan dengan hari libur sekolah. Begitu semangatnya orang Dayak dari 15 kecamatan untuk menggelar acara tersebut sehingga Gawai Dayak tidak pernah sepi. Bahkan adapula turis yang datang untuk menyaksikan acara tersebut serta membeli berbagai cenderamata khas Dayak.
Rumah Betang Raya Dori Mpulor Kabupaten Sanggau memberikan pemandangan yang tak selalu kita jumpai. Orang-orang Dayak dari beragam rumpunnya berkumpul di sana dan berlomba-lomba memukul gong serta kolintang untuk mengiringi nyanyian dan tari-tarian. Gema sukacita mereka tersebut terdengar dari siang hingga malam hari selama Gawai Dayak berlangsung.
Hari pertama Gawai Dayak biasanya diisi dengan kegiatan sederhana seperti pemukulan gong oleh Bupati Sanggau sebagai tanda resmi dibukanya acara Gawai Dayak, beraupm (rapat panitia acara), lomba berpantun, lomba pangka gasing, lomba menumbuk padi dan menampik beras, serta persiapan untuk lomba dihari kedua. Dalam lomba pantun, pantun diungkapkan secara spontan dan saling berbalas. Yang biasanya dilontarkan adalah pantun jenaka dan pantun nasehat, sehingga tak heran peserta yang mengikuti lomba pantun terdiri dari orang tua. Begitu pula dengan lomba menumbuk padi dan menampik beras, diikuti oleh ibu-ibu yang bekerjasama dalam kelompok saat menumbuk padi menggunakan alat tradisional.
Hari kedua Gawai Dayak sejak pagi mulai diramaikan dengan partisipasi anak-anak, remaja, serta orang dewasa. Anak-anak mengikuti lomba Abang-Ayong, yaitu pemilihan Putera-Puteri Dayak cilik. Mereka menggunakan pakaian adat Dayak dengan aksesoris lengkap, seperti gelang kaki yang memiliki lonceng, gelang tangan, kalung dari gigi hewan, bulu Burung Enggang, serta lukisan motif Dayak pada tubuh mereka turut menjadi sentuhan terakhir yang memaksimalkan penampilannya.
Mereka berlenggak-lenggok di atas panggung dan menari. Suara gemerincing lonceng pada gelang kaki mereka menambahkan harmonisasi tersendiri ketika berkondan (menari). Begitu juga dengan peserta laki-laki yang menunjukkan kebolehannya menari sambil memegang mandau, pedang asal Kalimantan. Mandau tersebut bukanlah Mandau asli tetapi hanya aksesoris wajib.
Ketika lomba Abang-Ayong telah usai dilanjutkan kembali dengan lomba bernyanyi. Lagu yang dibawakan adalah lagu berbahasa Dayak sesuai dengan daerah atau kecamatannya masing-masing. Meski cuaca sangat panas pada siang itu, orang-orang tetap menonton walaupun hanya dari Rumah Betang untuk tetap bisa memberi dukungan kepada wakil dari kecamatannya.
Salah satu Gawai Dayak yang berkesan bagi saya adalah Gawai Dayak 2014 ketika saya mewakili Kecamatan Sekayam untuk ikut lomba menyumpit reguDalam lomba ini sumpit yang dimaksud adalah senjata tradisional orang-orang Suku Dayak yang dulunya digunakan untuk berburu. Terbuat dari kayu dengan bentuk memanjang sekitar 2 meter dan lubang di tengahnya. Melalui lubang tersebut, kami meniupkan anak panah kecil yang ditargetkan pada papan nilai seperti dartboard.
Bukan hal yang sulit untuk meniup keluar anak panah kecil tersebut. Sedikit hembusan saja sebenarnya sudah mampu menerbangkannya. Tingkat kesulitannya ada pada jarak. Bagi peserta puteri, jarak peserta dengan papan nilai adalah 20 meter, sedang jarak untuk peserta pria adalah 25-30 meter. Terbayang, bukan? Lomba sumpit ini dimulai pada pertengahan lomba bernyanyi di lapangan tanah kuning Rumah Betang. Angin yang berhembus menambah kesulitan yang berarti. Namun, bila anda menunggu hasil dari perlombaan saya, dengan bangga hati saya berbagi cerita ini karena regu saya meraih juara pertama karena itulah Gawai Dayak 2014 menjadi berkesan.
Saat matahari mulai bersembunyi di ufuk barat, orang-orang mulai berkumpul di lapangan, siap untuk menyaksikan lomba tari kreasi Dayak. Para peserta yang akan tampil sudah mempersiapkan diri sejak siang hari. Semua mata mulai tertuju ke arah panggung ketika peserta pertama muncul. Mereka mulai mengambil posisi dan pembawa acara membacakan makna tarian mereka. Ada yang menceritakan kisah bujang-dara yang saling jatuh cinta, kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak menanam padi, dan masih banyak lagi.
Tiba hari terakhir dan kami masih sangat bersemangat. Hari ini masih ada serangkaian lomba dan pada akhirnya akan ditutup dengan pembagian hadiah kepada para pemenang. Siang harinya diisi dengan lomba drama legenda. Masing-masing kecamatan mempunyai ceritanya sendiri. Dalam durasi 10-15 menit, naskah drama mereka dipentaskan. Penghayatan karakter dan properti membuat drama mereka menjadi hidup dan pesannya tersampaikan, baik kepada juri maupun penonton.
Pada sore hari, panggung mulai kosong. Semua orang menanti-nanti malam tiba, yaitu ajang pemilihan Domamank-Domia (Putera-Puteri Dayak). Peserta sudah dikarantina selama beberapa hari untuk mempersiapkan hari ini. Mereka belajar secara mendalam tentang Suku Dayak. Ketika tiba hari mereka harus tampil, tidak hanya penampilan luar saja yang dinilai seperti Abang-Ayong, tetapi juga wawasan tentang Suku Dayak itu sendiri.
Malam pun tiba. Semua penonton sudah mengambil tempat yang tepat di depan panggung. Acara dibuka dengan penampilan dari pemenang lomba menyanyi. Kemudian peserta Domamank-Domia berjalan dengan penuh percaya diri dalam barisan yang rapi untuk memberi salam pembuka. Banyak peserta yang menggunakan busana yang dirancang dari kulit pohon kapuak seperti yang digunakan nenek moyang terdahulu.
Seusai memberi salam pembuka, sesi pertama pun dimulai. Setiap peserta memperkenalkan diri, menjelaskan busana yang mereka gunakan dan menyampaikan visi-misi yang ingin dicapai apabila terpilih sebagai Domamank atau Domia sebagai duta pariwisata daerah Kabupaten Sanggau. Peserta biasanya menggunakan 3 bahasa, yakni Bahasa Dayak, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dari 15 peserta, hanya 5 peserta yang akan masuk ke sesi kedua. Pada sesi ini mereka akan mengambil kertas berisi pertanyaan secara acak yang akan ditanyakan oleh juri.
Akhir acara mencapai puncaknya. Sementara juri mendiskusikan total nilai akhir mereka, para pemenang lomba tari kembali tampil. Setelah memperoleh hasil, juri pun mengumumkan pemenang Domamank-Domia, dilanjutkan dengan penyerahan tongkat pemenang Domamank-Domia tahun lalu dan pembagian hadiah kepada para pemenang lomba lainnya. Demikian berakhir sudah serangkaian acara Gawai Dayak. Suatu tradisi, sebuah cerita.

Monday, November 30, 2015

Perbaikan Travel Feature



Keindahan alam sangat dicari oleh para pecinta alam. Tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri ternyata Indonesia mempunyai keindahan alam yang luar biasa, tak disangka keindahan itu dapat kita lihat di Gunung Batu, Jonggol. Tahu Jonggol kan? Pasti tidak asing lagi didengar kalian para penikmat sinetron. Gunung Batu berada di Jonggol tepatnya Cibogo City. Cibogo adalah satu daerah yang masuk ke Kabupaten Bekasi. Tapi lokasinya berbatasan dengan Cariu, Bogor. Ketinggian Gunung Batu 875 MDPL, cocok untuk para pendaki pemula yang berkeinginan naik gunung karena mendaki cukup hanya satu hari.
Saya bersama 11 teman saya pergi ke Gunung Batu karena rekomendasi dari salah satu teman. Kami berangkat dari Jakarta pukul 02.00 wib dan memprediksikan akan sampai tujuan pada pukul 04.00 wib untuk melihat matahari terbit dipuncak Gunung Batu. Kami menggunakan kendaraan mobil pribadi dan mengandalkan GPS untuk menunjuk arah perjalanan ke Gunung Batu. GPS membawa kami melewati jalan sempit dan melewati perdesaan. Kami tidak yakin dengan jalan yang lalui, kami juga tersesat dan masuk ke jalan buntu. Tidak hanya melewati perdesaan, kami juga melewati hutan yang sangat gelap dan hanya menggunakan lampu mobil sebagai penerangan perjalanan.
Kami tiba di Gunung Batu tepat sesuai prediksi, kami sangat excited dan ingin cepat-cepat segera sampai di puncak gunung sebelum matahari terbit. Sebelum mendaki saya bersama teman-teman disungguhi pemandangan langit yang sangat luar biasa, ribuan bintang-bintang berada diatas kami. Kami begitu kagum karena pemandangan yang epic banget, kami berpikir masih dikaki gunung saja sudah disungguhi keindahan yang luar biasa.
Saat mulai mendaki kami mendengar suara-suara kicauan serangga. Tiba kira-kira pukul 05.15 kami sudah setengah jalan menuju puncak dan matahari mulai sedikit terlihat akan menampakkan dirinya. Perjalanan cukup panjang dan lebih menanjak, akhirnya saya bersama teman-teman memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kami beristirahat kurang lebih 6 sampai 7 menit tapi walaupun baru setengah perjalanan lagi-lagi kami diperlihatkan pemandangan alam yang luar biasa, alam terbentang indah, kita seperti diperlihatkan seperempat dari isi bumi.
Kami melanjutkan lagi perjalanan menuju puncak Gunung Batu dan sebelum sampai hanya tinggal beberapa kilometer lagi menuju puncak ternyata matahari akan mulai menunjukkan dirinya. Saya bersama teman-teman berhenti sejenak untuk menikmati keindahan matahari yang akan muncul dan tidak lupa untuk mengabadikan momen tersebut. Lalu kami melanjutkan lagi perjalanan yang sebentar lagi akan sampai dipuncak Gunung Batu. 
Kami melewati berbagai rintangan yang lebih sulit dari sebelumnya, saat menanjak harus menggunakan tali untuk membantu menanjak dan agar lebih aman. Begitu menanjak salah satu teman saya ada yang terpleset dan hampir jatuh saat naik menggunakan tali dan melewati batuan besar, beberapa dari kami histeris dengan teriakan, untungnya dia bisa menyeimbangkan kembali dan naik dengan lebih berhati-hati. Dengan begitu saya bersama teman-teman lebih berhati-hati lagi.
Akhirnya kami tiba dipuncak! Rasa lelah, letih, dan perasaan yang campur aduk terbayar sudah dengan pemandangan epic dari puncak Gunung Batu. Pendakian kami yang baru pertama kali ini merupakan suatu penghargaan dengan perjuangan yang tidak sia-sia. Walaupun rencana kami dari awal diluar prediksi kami ternyata matahari sudah terbit terlebih dahulu sebelum kami tiba di puncak. Tapi dengan begitu perjuangan kami tidaklah sia-sia, pemandangan alam yang terbentang indah dan langit yang terbentang luas didepan mata kami. 
Sungguh sangat luar biasa dan tak terbayangkan sebelumnya. Akhirnya kurang lebih 2 jam kami dipuncak dengan menikmati keindahan alam dan mengabadikan momen, kami memutuskan untuk kembali. Lalu kami turun dari puncak dengan rasa puas, sampai di kaki gunung kami sempatkan mampir ke warung kopi untuk berisitirahat sejenak sebelum pulang ke Jakarta.