Tradisi
adalah warisan budaya yang diceritakan turun-temurun dari nenek moyang kita.
Setiap suku memiliki tradisi berbeda, begitu pula kami, Suku Dayak, yang setiap
tahun menggelar acara Gawai Dayak. Gawai Dayak adalah suatu
tradisi sebagai wujud ucapan syukur masyarakat Dayak kepada Jubata atau Tempa (Tuhan)
atas panen padi yang berlimpah. Acara ini diselenggarakan secara akbar di Pontianak
selama tiga hari berturut-turut pada pertengahan tahun di rumah adat Suku Dayak
yang disebut Rumah Betang. Masyarakat Dayak berkumpul dan berkreasi dalam suatu
kompetisi seni.
Sebelum
diselenggarakan secara akbar di Pontianak, Gawai Dayak terlebih dahulu digelar
di tingkat Kabupaten. Saya sempat mengikuti acara Gawai Dayak di Kabupaten
Sanggau beberapa kali karena bertepatan dengan hari libur sekolah. Begitu
semangatnya orang Dayak dari 15 kecamatan untuk menggelar acara tersebut
sehingga Gawai Dayak tidak pernah sepi. Bahkan adapula turis yang datang untuk
menyaksikan acara tersebut serta membeli berbagai cenderamata khas Dayak.
Rumah
Betang Raya Dori Mpulor Kabupaten Sanggau memberikan pemandangan yang tak
selalu kita jumpai. Orang-orang Dayak dari beragam rumpunnya berkumpul di sana
dan berlomba-lomba memukul gong serta kolintang untuk mengiringi nyanyian dan
tari-tarian. Gema sukacita mereka tersebut terdengar dari siang hingga malam
hari selama Gawai Dayak berlangsung.
Hari
pertama Gawai Dayak biasanya diisi dengan kegiatan sederhana seperti pemukulan
gong oleh Bupati Sanggau sebagai tanda resmi dibukanya acara Gawai Dayak, beraupm (rapat
panitia acara), lomba berpantun, lomba pangka gasing, lomba
menumbuk padi dan menampik beras, serta persiapan untuk lomba dihari kedua.
Dalam lomba pantun, pantun diungkapkan secara spontan dan saling berbalas. Yang
biasanya dilontarkan adalah pantun jenaka dan pantun nasehat, sehingga tak
heran peserta yang mengikuti lomba pantun terdiri dari orang tua. Begitu pula
dengan lomba menumbuk padi dan menampik beras, diikuti oleh ibu-ibu yang
bekerjasama dalam kelompok saat menumbuk padi menggunakan alat tradisional.
Hari
kedua Gawai Dayak sejak pagi mulai diramaikan dengan partisipasi anak-anak,
remaja, serta orang dewasa. Anak-anak mengikuti lomba Abang-Ayong, yaitu
pemilihan Putera-Puteri Dayak cilik. Mereka menggunakan pakaian adat Dayak
dengan aksesoris lengkap, seperti gelang kaki yang memiliki lonceng, gelang
tangan, kalung dari gigi hewan, bulu Burung Enggang, serta lukisan motif Dayak
pada tubuh mereka turut menjadi sentuhan terakhir yang memaksimalkan
penampilannya.
Mereka
berlenggak-lenggok di atas panggung dan menari. Suara gemerincing lonceng pada
gelang kaki mereka menambahkan harmonisasi tersendiri ketika berkondan (menari).
Begitu juga dengan peserta laki-laki yang menunjukkan kebolehannya menari
sambil memegang mandau, pedang asal Kalimantan. Mandau tersebut bukanlah Mandau
asli tetapi hanya aksesoris wajib.
Ketika
lomba Abang-Ayong telah usai dilanjutkan kembali dengan lomba
bernyanyi. Lagu yang dibawakan adalah lagu berbahasa Dayak sesuai dengan daerah
atau kecamatannya masing-masing. Meski cuaca sangat panas pada siang itu,
orang-orang tetap menonton walaupun hanya dari Rumah Betang untuk tetap bisa
memberi dukungan kepada wakil dari kecamatannya.
Salah
satu Gawai Dayak yang berkesan bagi saya adalah Gawai Dayak 2014 ketika saya
mewakili Kecamatan Sekayam untuk ikut lomba menyumpit regu. Dalam
lomba ini sumpit yang dimaksud adalah senjata tradisional orang-orang Suku
Dayak yang dulunya digunakan untuk berburu. Terbuat dari kayu dengan bentuk
memanjang sekitar 2 meter dan lubang di tengahnya. Melalui lubang tersebut,
kami meniupkan anak panah kecil yang ditargetkan pada papan nilai seperti dartboard.
Bukan
hal yang sulit untuk meniup keluar anak panah kecil tersebut. Sedikit hembusan
saja sebenarnya sudah mampu menerbangkannya. Tingkat kesulitannya ada pada
jarak. Bagi peserta puteri, jarak peserta dengan papan nilai adalah 20 meter,
sedang jarak untuk peserta pria adalah 25-30 meter. Terbayang, bukan? Lomba
sumpit ini dimulai pada pertengahan lomba bernyanyi di lapangan tanah kuning
Rumah Betang. Angin yang berhembus menambah kesulitan yang berarti. Namun, bila
anda menunggu hasil dari perlombaan saya, dengan bangga hati saya berbagi
cerita ini karena regu saya meraih juara pertama karena itulah Gawai Dayak 2014
menjadi berkesan.
Saat
matahari mulai bersembunyi di ufuk barat, orang-orang mulai berkumpul di
lapangan, siap untuk menyaksikan lomba tari kreasi Dayak. Para peserta yang
akan tampil sudah mempersiapkan diri sejak siang hari. Semua mata mulai tertuju
ke arah panggung ketika peserta pertama muncul. Mereka mulai mengambil posisi dan
pembawa acara membacakan makna tarian mereka. Ada yang menceritakan kisah
bujang-dara yang saling jatuh cinta, kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak
menanam padi, dan masih banyak lagi.
Tiba
hari terakhir dan kami masih sangat bersemangat. Hari ini masih ada serangkaian
lomba dan pada akhirnya akan ditutup dengan pembagian hadiah kepada para
pemenang. Siang harinya diisi dengan lomba drama legenda. Masing-masing
kecamatan mempunyai ceritanya sendiri. Dalam durasi 10-15 menit, naskah drama
mereka dipentaskan. Penghayatan karakter dan properti membuat drama mereka
menjadi hidup dan pesannya tersampaikan, baik kepada juri maupun penonton.
Pada
sore hari, panggung mulai kosong. Semua orang menanti-nanti malam tiba, yaitu
ajang pemilihan Domamank-Domia (Putera-Puteri Dayak). Peserta sudah
dikarantina selama beberapa hari untuk mempersiapkan hari ini. Mereka belajar
secara mendalam tentang Suku Dayak. Ketika tiba hari mereka harus tampil, tidak
hanya penampilan luar saja yang dinilai seperti Abang-Ayong, tetapi juga
wawasan tentang Suku Dayak itu sendiri.
Malam
pun tiba. Semua penonton sudah mengambil tempat yang tepat di depan panggung.
Acara dibuka dengan penampilan dari pemenang lomba menyanyi. Kemudian peserta Domamank-Domia
berjalan dengan penuh percaya diri dalam barisan yang rapi untuk memberi
salam pembuka. Banyak peserta yang menggunakan busana yang dirancang dari kulit
pohon kapuak seperti yang digunakan nenek moyang terdahulu.
Seusai
memberi salam pembuka, sesi pertama pun dimulai. Setiap peserta memperkenalkan
diri, menjelaskan busana yang mereka gunakan dan menyampaikan visi-misi yang
ingin dicapai apabila terpilih sebagai Domamank atau Domia
sebagai duta pariwisata daerah Kabupaten Sanggau. Peserta biasanya menggunakan
3 bahasa, yakni Bahasa Dayak, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dari 15
peserta, hanya 5 peserta yang akan masuk ke sesi kedua. Pada sesi ini mereka
akan mengambil kertas berisi pertanyaan secara acak yang akan ditanyakan oleh
juri.
Akhir
acara mencapai puncaknya. Sementara juri mendiskusikan total nilai akhir
mereka, para pemenang lomba tari kembali tampil. Setelah memperoleh hasil, juri
pun mengumumkan pemenang Domamank-Domia, dilanjutkan dengan penyerahan
tongkat pemenang Domamank-Domia tahun lalu dan pembagian hadiah kepada
para pemenang lomba lainnya. Demikian berakhir sudah serangkaian acara Gawai
Dayak. Suatu tradisi, sebuah cerita.